Banyak dari kita pasti pernah mengalami situasi di mana jam pulang kerja terasa semakin lama tertunda. Entah karena pekerjaan yang belum selesai atau tugas baru yang terus berdatangan, bekerja lembur menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Tidak hanya di lingkungan kantor, fenomena ini juga sering dialami oleh banyak profesional muda di berbagai sektor industri.
Seiring bertambahnya beban pekerjaan, jam kerja reguler kerap kali tidak lagi cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas yang ada. Jika pekerjaan ditinggalkan begitu saja dengan harapan bisa diselesaikan keesokan harinya, yang terjadi justru sebaliknya: tugas menumpuk, dan tekanan untuk menyelesaikannya semakin besar. Lembur pun menjadi satu-satunya solusi untuk memenuhi target yang diberikan atasan.
Akibatnya, semakin banyak waktu yang dihabiskan di kantor, bahkan hingga akhir pekan. Bagi sebagian orang, weekend yang seharusnya menjadi waktu istirahat atau kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga justru dihabiskan untuk mengejar tenggat waktu pekerjaan yang belum selesai. “Sudah capek kerja 5 hari, ditambah lembur pula,” keluh salah satu profesional muda yang kami temui.
Ada banyak alasan mengapa seorang profesional harus lembur. Bisa jadi karena adanya tugas tambahan yang datang tiba-tiba, permintaan bantuan dari rekan kerja di divisi lain, atau bahkan keputusan pribadi untuk bekerja lebih lama agar bisa menyelesaikan pekerjaan di lingkungan yang lebih tenang dan kondusif. Beberapa karyawan merasa bahwa lembur justru memberikan mereka kesempatan untuk lebih fokus, karena suasana kantor yang lebih sepi.
Namun, tidak semua perusahaan memiliki kebijakan yang sama mengenai lembur. Beberapa perusahaan memberikan kompensasi berupa uang lembur, sementara yang lain lebih memilih sistem kerja fleksibel, di mana karyawan tidak diberikan uang lembur namun memiliki kebebasan dalam mengatur jam kerjanya sendiri. Sistem ini sering kali membuat kebijakan lembur menjadi kurang relevan atau sulit diterapkan.